Archive for the ‘Drama Monolog’ Category

Naskah Monolog

Pohon Tanpa Akar

Maila

https://i0.wp.com/dark.pozadia.org/images/wallpapers/Family%20Death%20Tree-704037.jpeg



HAMPARAN TANAH YANG BERANTAKAN. DUA SOSOK MAYAT BERSANDAR DI GUNDUKAN BEBATUAN. SUARA-SUARA KEMATIAN BERHAMBURAN DARI SEGALA  ARAH.

Sejarah negeri ini selalu mencatat orang-orang yang berani mempertahankan hak miliknya sebagai pahlawan.
Keberanian itulah yang hendak aku tunjukkan pada dunia.
Apakah kalian akan meninggalkan tempat ini kaarena milik kalian telah hilang?
Apakah kalian menyerah hanya karena suara-suara  dan bayangan yang tidak nyata itu? Jawab…
Nah, itu, ketakutan itulah yang membuat kalian kalah. Aku akan tetap di sini. Akan aku rebut kembali segala milikku yang dirampas olehnya. Kalau kalian mau pergi, pergilah…

SEORANG LELAKI MENGGUNAKAN TONGKAT DENGAN MENYANDANG SENJATA TERTATIH MENUJU HAMPARAN TANAH KOSONG. IA MENAHAN SAKIT YANG DALAM.

Terserah kalian menyebut aku gila.Tanah ini adalah nafasku. Negeri ini adalah darahku.Siapa (TERTAWA). Kalaupun dia datang lagi akan aku peluk dengan dadaku yang terbuka.
Oh…tidak.tidak!!!
Kalian bukan pajurit-prajuritku lagi, bukan orang-orang kepercayaanku lagi.
Pergi kalian.Pergi.Pergi!!!
Pergi!!!Pengecut!Pecundang!Penghianat!pergi!pergi!!!
HENING SEJENAK.
Akulah lelaki yang kehilangan.
Belum sempat aku menimang matahri yang beru keluar dari rahimmu.Belum sempat tunjukkan keringat kita yang berubah menjadi emas kepadanya,kasihku.
TERTAWA GETIR,TANPA SUARA.
Pagi yang seharusnya menyejukkan jiwa , tapi gerhana malah menebar luka . Kegelapan menutupi jalan . Tanah kita meleleh. Kita tidak bisa maju. Kita terpaksa mundur ke masa lalu.
Jabatan yang aku raih, lenyap.
Kekayaan yang bertahun-tahun aku kumpulkan,musnah.
Dan rumah megah ini kini tinggal harapan kosong.
Air mataku habis.Semuanya habis.
Yang tersisa tinggal cintaku,sayang.
MENANGIS
Sujud bagaimana lagi yang belum aku persembahkan padaMu, Tuhan?
Kenapa kematian begitu kejamnya menghancurkan surga kami?
DUDUK DI SAMPING MAYAT.

 

https://i0.wp.com/i416.photobucket.com/albums/pp246/marciolimas/Download.gif

Monolog

EMANSIPASI

Karya : M. J. Widjaya

https://i0.wp.com/images.refadillah.multiply.com/image/1/photos/upload/300x300/R8r7-QoKCr8AABuxP8Q1/1-6.JPG

KARTINI

Tinta sejarah belum lagi kering menulis namanya, namun wanita wanita negeri ini sudah

terbata bata membaca cita citaku.

Aku dikungkung adat dan barat menuntunku, tapi aku selalu memcoba meratas jalan

menuju kemerdekaan dan ternyata tak seorang pun melanjutkan perjuanganku.

Sesungguhnya adat sopan santun amatlah rumit, adikku harus merangkak bila hendak

berlalu dihadapanku, kalau adiku duduk dikursi lalu aku berlalu maka haruslah segera

turun dari kursi duduk ditanah bahkan dengan menundukan kepala sampai aku tidak

terlihat. Adikku tidak boleh berkamu atau berengkau kepadaku dan setiap akhir kalimat

harus dibarengi dengan sembah.

Peduli apa dengan segala tata cara itu, segala peraturan itu bikinan manusia dan

menyiksaku. Manusia harus merdeka, semua sama dan kita semua saudara. Manusia itu

sederajat dan berhak mendapatkan perlakuan yang sama, tidak seperti sekarang, para

kaum ningrat pasti bahagia tapi kaum marginal akan hidup diselokan selokan penderitaan

dan kematian siap menanti.

Keningratan darah untuk masa kini sudah menjadi barang antik di museum. Kini muncul

keningratan keningratan baru, keningratan title, keningratan pangkat, keningratan jabatan

dan pucak dari semua keningratan itu adalah keningratan ekonomi. Siapa yang paling

banyak uang berarti dia yang dapat mengatur keadilan dan keputusan pengadilan.

Sungguh aneh, mereka yang mengaku “ Kartini Kartini Masa Kini “ tidak menentang

keningratan keningratan baru, bahkan sebagian besar mereka menjadi pemujanya atau

penjilat. Aku hanya percaya akan dua keningratan, pertama keningratan fikiran dan yang

kedua keningaratan budi, apa gunanya bergelar graaf atau baron.

Wanita wanita kini mengurai kembali benang yang telah kupintal, mereka hanya

merayakan hari kelahiranku tapi itu semua hanya mengecilkan arti perjuangaku selama

ini. Wanita wanita kini telah maju kebelakang, kita belajar sejarah, bahwa manusia itu

unik, keunikan manusia itu : dia belajar sejarah tapi tidak pernah belajar dari sejarah.

Aku tidak boleh bergaul dengan kaum dibawah keningaratan aku, tapi sekarang semua

bebas dan hanya ada dua perbedaaan, yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin

miskin.semua temanku adalah musuhku, mr. Abendanon dan istrinya seorang utusan dari

pemerintah belanda untuk melaksanakan politik etis, dia meminta bantuan dan nasihat

dari snouck Hurgronye yang memiliki konsep politik asosiasi yang bertujuan agar

generasi Indonesia tercabut dari akarnya terutama Islam. Snouck Hugronye menyarakan

agar abendanon mendekati aku, maka aku berkawan dengan keluarganya. Musuhku tidak

seperti jaman sekarang, musuhku adalah temanku, temanku adalah musuhku. Mulai dari

stella, anie glasser, dr andriani, Vam kol. Mereka semua hanya memanfaatkanku semata.

Laksanakan cita cita, bekerjalah untuk masa depan, bekerjalah untuk kebahagian beribu

ribu orang yang tertindas dibawah hukum yang tidak adil dan paham paham palsu.

Berjuanglah dan menderitalah, tetapi untuk kepentingan abadi.

https://i0.wp.com/i416.photobucket.com/albums/pp246/marciolimas/Download.gif

 

Monolog

ATAS NAMA DOA

atawa SENYUM LASTRI

Karya: Lintang Ismaya

 

https://sastradrama.files.wordpress.com/2010/10/dom.jpg?w=165

RUANG PENJARA. PESAKITAN TAMPAK TIDUR SEPERTI ANJING. DARI ATAS LANGIT-LANGIT JATUH BUKU DAN BOLPOINT MENIMPA MUKANYA. TERDENGAR SUARA SESEORANG

Besok, hari terindahmu, –menghadapi duabelas regu pasukan tembak. Tulislah biografi hidupmu, biar semuanya jelas. Siapa tahu kau jadi figure yang fantastic bagi generasi mendatang? ORANG ITU TERTAWA.

PESAKITAN BANGUN SECARA PERLAHAN-LAHAN. MELIHAT SEKITAR. MELIHAT KE ARAH SUMBER SUARA. MENGAMBIL BUKU DAN BOLPOINT. PESAKITAN TERTAWA LEPAS. BERNYANYI-NYANYI RIANG. SEPERTI MENULISKAN SESUATU DI DALAM BUKU TERSEBUT.

Seseorang datang dan pergi di kehidupanku. Seperti angin waktu yang kerap menyimpan ribuan rahasia. Begitulah adanya hidupku. Aku terbentuk. Terpatok. Terpenjara. Terkontaminasi. Terseok-seok. Menjadi sesosok diriku. Lahir dan tumbuh, sampai akhirnya terpatri di tempat ini.

 

BANGKIT. MENCARI PUNTUNG ROKOK DAN MENYALAKANNYA. MEMAINKAN ASAPNYA. TERTAWA. MENARI-NARI KECIL BAK BALERINA.

Sejarah. Yap. Semua orang pada akhirnya sama; saling berebut tentang sejarah. Menuliskannya pada lembar demi lembar buku sejarah. Tanpa peduli ada yang membacanya. Bahkan tidak menutup kemungkinan, hanya dibaca oleh diri kita sendiri.

 

SEPERTI MENDENGAR SUARA.

Apa? Yap. Benar. Pendapat anda benar sekali? Bukankah di hadapan Sang Pencipta, yang kita sodorkan dan diperiksa adalah lembar demi lembar sejarah hidup dan kehidupan kita? Itulah fungsinya malaikat, sebagai asisten kita yang dianugrahkan dari Sang Pencipta.

 

HENING SEJENAK. TIBA-TIBA SEPERTI MENGAMUK

Asu. Bangsat. Apa peduliku dengan dogma-dogma? Ketika lonceng gereja berbunyi, tak ada lagi biara-biara suci. Tak adalagi nyanyian koor. Ketika gema adzan berkumandang, tak adalagi kiai yang membawa santri-santinya untuk berjamaah.

 

LANTANG SUARANYA Aggggggggggh,… EMOSINYA MENINGGI. Ibuku, baru saja satu hari meninggal, bapaku sudah kawin lagi. Aku dan adikku ditendangnya dari rumah. Agama. Apa yang aku dapat dari pemahaman nilai-nilai religious yang ditanam sejak kecil oleh ibu dan bapakku? Sementara kelakuan bapakku tak ubahnya anjing!

 

SEPERTI MENDENGAR ORANG BERBICARA. LIRIK KANAN LIRIK KIRI. KEPALA DAN TUBUHNYA BERPUTAR-PUTAR. SUARA-SUARA ITU SEMAKIN TAJAM MENGHUJAMI PIKIRANYA “KASIH INSPIRASI MUSIK”.

Diam! Tidak! Aku tidak sensitrif? Tapi aku bernbicara fakta. Jangan menghakimi aku begitu rupa? Ini urusan pribadiku. Apa hak kalian? Kalaulah ayah dan ibu tiriku Mati ditanganku, bukan semata-mata alasan klise, balas dendam. Tetapi ini murni sebagai bahasa nurani. Aku tidak bersekutu dengan setan! Kasihan dong iblis, jadi kambing hitam terus? Ini naluriku untuk bertindak.

https://i0.wp.com/i416.photobucket.com/albums/pp246/marciolimas/Download.gif

Monolog

Wanci

Karya Imas sobariah

https://i0.wp.com/www.tamanismailmarzuki.com/tokoh/imas_files/image003.jpg

KEJADIAN INI BISA DIMANA SAJA, KOTA BESAR ATAU KOTA KECIL. HANYA ADA SEORANG PEREMPUAN UMUR 30 –AN, TAPI KELIHATAN JAUH LEBIH TUA DARI UMUR SEBENARNYA DAN KELIHATAN KURANG WARAS. SAMBIL MENCARI MAKANAN DI TONG SAMPAH ATAU SAMPAH-SAMPAH YANG BERSERAKAN, PEREMPUAN ITU KADANG BERNYANYI KECIL, KADANG TERTAWA SAKIT ATAU APA SAJA MENGISI KEKOSONGANNYA. TAPI TIBA-TIBA DIA BERSEMBUNYI DI BALIK PUING-PUING ATAU APA PUN PENUH KETAKUTAN. TAK SEBERAPA LAMA, PEREMPUAN ITU PERLAHAN KELUAR DARI PERSEMBUNYIANNYA.

Saudara-saudara barusan lihat anak saya ? hah ? masa tak tahu itu si Endang dan si Eti ?

Saya takut ketemu dia…..kenapa ? ….tidak…tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata…lingkaran….lingkaran itu harus diputuskan….. sudah saya bilang jangan dilahirkan, jangan hidup, jangan saya.. .. jangan …jangan yang lain juga

Tidak nurut…siapa yang salah…siapa ?

PEREMPUAN ITU BERBISIK

diam, diam, malu ! bilang saja tak jadi, geser…geser …nasibnya ! PEREMPUAN ITU

SEPERTI TERSADAR DAN MALU.

Tuhan, Tuhan…… bagaimana ini ? seperti biasa, kau selalu diam.

Ngomong-ngomong, sudah kenal saya belum ?  pasti belum kan ? emang saya siapa  ? he he…  nama saya Icih prihatini. Orang-orng memanggil saya Icih, sebuah nama kecil dari kampung. Orang prihatin ! …he…he… saya lahir dan dibesarkan di kota kecil yang dikutuk sekaligus abadi dibutuhkan, baik secara terang-terangan maupun umpet-umpetan, siapa yang tak pernah mendengar daerah lokalisasi !  kapan dan di mana pasti ada.

TIBA-TIBA TERDENGAR SAYUP-SAYUP MUSIK KETUKTILUAN

ATAU MUSIK PERGAULAN, PEREMPUAN ITU MENARI AMAT SERIUS DENGAN EKSPRESI KEPEDIHAN DAN BERTOLAK BELAKANG DENGAN MUSIK YANG DINAMIS.

Saya harus bersyukur kepada Tuhan

SAMBIL SETENGAH BERBISIK

nama Tuhan disebut cukup langka.. he…he…itulah kesalahan terbesar bersama. Kecil-kecilan saya  penari, karena saya selalu sedih dan mengeluh, saya harus punya yang bisa diunggulkan.

Anugerah yang menyelamatkan saya dari lingkaran….membuka pikiran dan hati saya …walau sampai saat ini saya masih asli miskin…tapi miskin  lain urusan bukan ? bukan  kutukan ….ya, punya nasibnya sendiri…….

PEREMPUAN ITU DIAM, LALU MENGENDAP-ENDAP…….SETELAH YAKIN TAK ADA SEORANG PUN, LALU IA BERBICARA LAGI

https://i0.wp.com/i416.photobucket.com/albums/pp246/marciolimas/Download.gif

Monolog

Ibu kita Raminten.

Diangkat dari novel karya Muhamad Ali

Teks Pra- lakon: Ikun Sri Kuncoro

https://i0.wp.com/profile.ak.fbcdn.net/profile-ak-snc4/object3/1391/104/n16798034330_1633.jpg

1.      Yang aku bayangkan adalah ruang pengadilan. Tapi ruang ini sekaligus juga harus hadir secara simbolik sebagai sebuah kungkungan, yang dengan itu berarti ia juga menindas, entah sebagai sebuah sistem (termasuk tata nilai, di sini) atau sesuatu hal yang lain yang muaranya pada konstruksi sosial.

2.      Maka, bayangannya adalah pilar-pilar tiang dengan berbagai ukuran yang secara kompositif memberi efek visual menekan karena stage dalam pembayangannya hanya berisi sebuah tempat duduk terdakwa (Raminten), maka tiang-tiang ini harus dipermainkan dengan cahaya yang memberi aksentuasi atas suasana monolog Raminten. Jika ditemdukan ikon lain yang lebih menggugah tentu itu yang diharapkan.

3.      Andai potensi teaternya mampu, yang aku bayangkan dari teater ini hanyalah teater auditif: sebuah rangkaian irama bunyi yang memukau (membuat penonton betah)  yang muncul dari wilayah tekanik ucapan dan ilustrasi musik. Sehingga, Raminten tidak perlu beranjak dari kursi terdakwanya untuk sebuah spektakel yang lain.

4.      Tetapi sejujurnya saya juga tak mengelak, andai prosesi latihan, proses penciptaan teater yang sesungguhnya memberikan penawaran lain yang sering tak terduga dan tak dibayangkan pada awalnya. Karena, sebenarnya, di situlah letak keajaiban teater.

Marilah dimulai saja:

Panggung itu gelap, ketika lamat-lamat detak sepatu membentur ubin hadir semakin nyata dan berselah-selih dengan suara “ngremo” antara bunyi gamelan dan tembang, juga dentam besi dari gembok dan kerangkeng penjara. Sampai suasana menjadi.

Lalu dalam kelam itu sidang dibuka oleh suara hakim:

Hakim (Off Stage): Sidang perkara pembunuhan Prihartono warga negara Indonesia kelahiran Hongkong, dengan agenda utama pembelaan terdakwa II Saudari Raminten yang akan disampaikan oleh terdakwa sendiri, dengan ini dinyatakan dibuka.

Lalu lampu merayap pelan pada Raminten yang duduk di kursi terdakwa.

RAMINTEN

Trima-kasih. Sebagaimana dinyatakan kepada saya dan telah saya jawab, saya tidak akan menambahkan atau mengurangi. Saya… hanya akan melihatnya dan mengatakannya dari sisi diri saya tentang peristiwa apa yang telah saya jalani dan tentang apa yang telah bapak dan ibu simpulkan atas diri saya.

Saya, malam itu, tanggal 22 Desember 2004 memang berada di kamar bapak Prihartono di jalan Ahmad Yani no. 1. Tetapi seperti yang telah saya katakan, kenapa saya di rumah itu? … Saya, … dipaksa Stambul … Anak saya.

Malam itu, Stambul pulang. Dan seperti beberapa malam sebelumnya, Stambul membujuk saya.

Setelah berbulan-bulan tidak pulang—juga, ketika bapaknya meninggal—beberapa malam sebelum peristiwa itu Stambul membujuk saya untuk menjadi gundik bapak Prihartono.

https://i0.wp.com/i416.photobucket.com/albums/pp246/marciolimas/Download.gif

SURAT KEPADA

ORANG TERKASIH

Karya Taufan S. Chandranegara

 

https://i0.wp.com/fineartamerica.com/images-medium/the-read-letter-john-osgood.jpg

Dramawan       : Aktor (lelaki/Perempuan)

Catatan            : Dalam memainkan naskah ini, diperlukan imajinasi tanpa batas, kontekstual dalam term of moralisme.

 

 

RUANG TANPA JENDELA, TANPA APA-APA. BUKAN PENJARA, BUKAN APA-APA. HANYA KOSONG DALAM GELAP YANG SATIRIS. MASIH ADA KEHIDUPAN.

Kepada A moral yang terkasih.

Baru saja aku menerima suratmu. Tentang musibah yang melanda umat manusia di negerimu. Kau Tanya aku tentang bagaimana mangatasi akibat dari itu semua. Umumnya manusia menyalahkan Tuhan. Padahal menurutmu, ini bencana al. Alam bergeser dari taksirnya menuju takdir yang baru dalam kurun ruang dan waktu.

 

Kalau boleh kujawab; bisa. Bisa saja itu. Kalau menurut keyakinanmu begitu. tapi bolehkah aku bertanya satu hal saja: manakah yang lebih dulu ada? Tuhan atau alam?

Kau tak pernah menajwab dalam surat-suratmu kepadaku, pertanyaanku itu. Malah kau bertanya tentang fenomena alam yang logis atau tidak, itu “akal” dalam takdir kita sebagai mahluk Tuhan.

 

Selalu. Kau bertanya tentang alam dan Tuhan. Tak pernah aku menerima jawaban dari apa yang sudah kujawab untukmu. Mengapa? Adakah kebimbangan untukmu tentang azaz ilahiah, tentang zat yang tak seumpama apapun itu? Adakah ketakutan dengan pertanyaanmu sendiri? Lalu untuk apa kau Tanya tentang itu, selalu, padaku? Adakah kau tengah menguji aku? Kalau boleh kujelaskan, aku tak pernah meragukan apapun atau bertanya apapun tentang Tuhan.

 

Karena hal itu bukan soal yang harus diperdebatkan. Bukan hal yang harus menghambat kreatifitas dan daya hidup kita sebagai mahluk hidup. Menurutku, perlu kuulang lagi jawabanku:

 

Tuhan bagiku adalah teman kreatif dialogis tunggal meruang di kosmos jiwa, menyejukkan, mencintai, mengasihi, mencitrai hidup kita awal hingga akhir hayat dikandung badan. Tak secercahpun kubiarkan cahaya gelap mengganggu terangnya pelita selalu pemberi harapan.

 

Meski kadang aku bimbang. Saat-saat aku bereaksi pada aksi realitas hidup, menghisapku detik perdetik, kadang keserakahan menggodaku untuk meraih jalan menuju terang dengan jalan konflik, korup, chaos, kau tahu apa yang kulakukan? Aku menulis prosa, puisi, novel, cerpen, drama, roman, esai dan artikel-artikel, sekadar menghindari birahi yang bakal membawa luka-luka di dalam jiwaku.

 

My dear A moral, aku tahu kau penuh dengan rencana. Itu ihwal dari inti kebaikan kalau memang kau ingin sekali berubah menuju kebaikan yang kau maksud di surat-suratmu yang lalu padaku. Bagaimana membangun upaya-upaya itu.

 

Lalu pernah kubilang padamu. Jadilah inti sejati akal sehatmu. Karena disana awal dari citra realitas yang akan kau jalani kelak. Kau bertanya lagi dengan panjang lebar. Antara lain: mengapa mahluk hidup harus berinteraksi dengan alam dan lingkungannya. Mengapa tidak alam yang berinteraksi dengan mahluk hidup dan kehidupannya? Pertanyaanmu kadang agak bodoh, memang, kadang-kadang. Tapi kujawab juga, kan? Ya, itulah kewajaran, saling berinteraksi. Fadilah ilahiah.

 

Sejak saat itu. Sejak pertanyaanmu yang etrakhir kujawab seperti itu, kau tak lagi bersurat padaku. Bahkan seperti hilang dalam gaib semesta. A moral yang etrkasih, yang hilang bersama waktu. Dimanakah kamu? Kalau kau kebetulan menyaksikan pertunjukan ini. Aku sebetulnya sudah mati. Ya, aku sudah mati. Karena aku kehilangan teman sejawat yang selama ini member aku kehidupan, lewat kata dan pertanyaanmu yang kadang menggelitikku untuk member jawaban. Karena dengan cara itu aku mendapat hikmah dari kata dan tanyamu.

 

Di dalam kematianku kini, aku banyak meilhat kebenaran hakikat, tentang pengkhianatan sebagai bekal kekekalan, jika kita dapat mengalahkannya atau membunuhnya dengan pisau terhunus, meski korban harus jatuh. Barangkali itu yang disebut cinta terhadap sesame. Membunuh pengkhianatan.

 

Kini aku dengan leluasa bis amelihat kebohonganmu, dari alam kematianku. Aku bisa melihat bagaimana kau bermain dengan malaikat hitam, melakukan pembantaian terhadap talenta-talenta yang kau miliki lewat sejuta alibi tentang kebaikan, aklamasi, padahal kau membuat ruang-ruang berkelas, memenjarakan orang-orang yang kau sebut terkasih di dalam etalase-etalase berlogo, berlabel besar popularitas, lalu kau pandangi mereka dari singgasanamu yang berada di sudut-sudut tersembunyi, sambil menikmati vodka, menghisap jempol kakimu sendiri. Memilih waktu, saat kau butuhkan, sebagai budak capital dengan system paguyuban. Lalu kau bergoyang di atas dolar-dolarmu sambil menghitung profit dari ekstase akses-akses promo aksi dalam system dan penjualan format eksistensi kreatif, mengatasnamakan kebudayaan, pemeberdayaan, penyelarasan dogma-dogma sosiologis, antropologis, psikologis, plagiasis, narsisus, narasi hipokrisi akal bulus yang dicangkokan dengan ramuan kepediahn kaum tertindas akibat politik akut dengan tampilan ikon-ikon moralitas semu karya kreatif seolah-olah kau di garda depan.

 

Celaka betul, sebuah acrobat dari pesulap, babi menjadi burung merpati sebagai symbol cinta yang serakah. Cinta, kau tiupkan lewat penalaran aktifitas acting yang kau massalkan. Menghipnotis kesadaran meruang menuju perbudakan.

Ketika cinta saja ternyata tidak cukup manipulative, simbolik dari akal hitammu dalam rangka menggalang humanisasi menjadi dehumanisasi, menuju system robotic yang gigantic, kau akronimkan menjadi paguyubuan, misalnya. Itulah psikologi awal dari permasalahan perbudakan kreatif.

https://i0.wp.com/i416.photobucket.com/albums/pp246/marciolimas/Download.gif

Bunga di Atas Awan-Awan

Atawa Cinta Dibalut Hitam

Karya Taufan S. Chandranegara

https://i0.wp.com/www.heartfeltadopt.com/files/QuickSiteImages/FlowerSkyWide2.jpg

Dramawan      : Aktor (Lelaki/Perempuan)

Catatan           : Dalam memainkan naskah ini, diperlukan imajinasi tanpa batas, kontekstual dalam term of moralism

 

 

 

 

 

SEBUAH RUANG, JENDELA-JENDELA, SEBUAH MEJA, SEBUAH KURSI, SEBUAH JAMBANGAN BERHIAS BUNGA-BUNGA, HANYA ADA SEKUNTUM BUNGA PLASTIC DI DALAMNYA, SEORANG TOKOH SENDIRI DISITU ENTAH SEJAK KAPAN.

 

Cinta. Cinta. Cinta. Subjektif. Irasional. Objektif. Rasional. Cinta. Cinta.cinta. kuasa. Naïf. Egomania. Cinta. Cinta. Cinta. Oral. Sacral. Mesum. Pornoaksi. Pornografi. Cinta. Cinta. Cinta. Sepotong zaman yang dipotong seperti roti dibagi-bagi lewat sentra media-multi-promo-aksi. Globalisme. Isu. Cinta. Cinta. Cinta. Naziisme. Fasisme. Feodalisme. Kapitalisme. Anarkisme. Chaos. Cinta. Cinta. Cinta.

 

Ruang. Waktu. Niscaya. Kosong. Isi. Gundah. Cinta. Cinta. Cinta. Serikat. Partai. Komunitas. Persatuan. Koloni. Cinta. Cinta. Cinta. Cinta surga. Neraka. Mati. Hidup. Cinta. Cinta. Cinta….

 

Slogan. Yel-yel. Fanatisme. Fundamentalisme. Cinta. Cinta. Cinta. Cinta semua. Semua cinta. Dijual murah di swalayan dengan slogan besar pasar modal. Cinta. Cinta. Cinta. Menjadi paradoksal. Mencintai. Dicintai. Dalam format moralis segemntasi kulturasi, menjadi takdir, hak dan kewajiban. Cinta. Cinta. Cinta….

 

“ Bunga. Hehehe…. Ada keklisean dalam kalimat katakan cinta dengan bunga. Kenapa tak diganti dengan; katakan cinta dengan tai dalam huruf kapital! Untuk apa aku mencintai? Dengan huruf kecil saja; kamu tak mau memahami. Tak mau mendengar suara nuranimu, itu pun kalau masih ada. Apa sih nurani, cinta? Apa sih cinta? Hidup yang bernurani. Yang aku tahu, cinta adalah tai alias tai dalam huruf kapital adalah cinta. Atau perlu aku membuat semacam federasi atawa serikat cinta. Apa mungkin cinta dilembagakan macam itu? Dibuatkan semacam grup seperti kelompok musik rock atau dangdut. Apa iya cinta kemudian menjadi esensial meng-instal isme dalam kurun waktu kemudian menjadi eksistensialis? Akh? Apa iya!?.”

 

Bener neh ente jatuh cinta dengan pacar ente. Bener neh ente semua bercinta karena cinta. Bohong! Pasti dengan nafsu kuda pacuan menuju maksimalisasi kemenangan, meski sebetulnya ente memacunya dengan steroid yang diminum sehari tiga kali karena mengandung vitamin B1 atawa B2 dan seterusnya plus plus diramu ginseng dari sebuah negeri. Lalu Jas jis Jos! Iya, kan? Malu? Rahasia? Jas Jis Jos kok rahasia.

 

Cinta. Cinta. Cinta. Penuh rahasia. Misteri. Klasik. Fenomenal. Birahi tanpa cinta adalah hal biasa. Tapi cinta tanpa birahi adalah omong kosong. Kenapa? Tanyalah pada kata hati. Kalau masih ada kata hati. Kalau masih punya kata hati.

 

“Sulit ya, Bunga. Mau punya cinta kok sembelit hehehe…. Apa? Maksudmu? Ya. Ya. Aku tak paham. Ya, o ya! Yang itu maksudmu. O… aku tahu sekali, meski agak kurang kenal. Kenapa? Suaramu keras sedikit. O…. ya, ya. Maksudmu seperti lagu-lagu protes yang pernah ada, kemudian mati setelah mengenal sistem, gincu! Kalau yang itu aku tak kenal. Karena yang ditulis belum tentu sesuai dengan perasaan cintanya pada….

https://i0.wp.com/i416.photobucket.com/albums/pp246/marciolimas/Download.gif

BANGSAT

Karya Taufan S. Chandranegara

 

Dramawan       : Aktor (Lelaki/Perempuan)

Catatan            : Dalam memainkan naskah ini, diperlukan imajinasi tanpa batas, kontektusal dalam term of moralisme.

 

https://i0.wp.com/majalah.hidayatullah.com/wp-content/uploads/2010/06/angry.jpg

SCENE #1

(Seseorang berwajah batu, terkurung dalam image-image)

 

Bangsat. Bangsat, bangsat, bangsat, bangsat! Bangsat! Bangsat? Bangsat!? Bangsat. Bang! Bang! Bang! Bangsat! Sat! sat! sat! sate! Bangsat! Bangsat! Sate! Bangsat! Bangsat! Itu! Bangsat! Itu!! Bangsat! Itu. Celaka. Bangsat. Celaka. Bangsat. Celaka. Cela ka ka ka kaki ka ka bangsat. Ku ku ku kunyukku bangsatku, kunyukku bangsatku. O, amboi! Kalau bangsat tak berdaya maka ku maki maki ku maki kaki kaki lalu ku maki lu lu lu. Lumer di makan bangsat yang ada di bawah pantat-pantat feodal dal dal dalih anti rayap yap yap. Merayap dalam ku ke kuas kuas kuasa kuasa kuasa melahap bangsat yang diakronimkan menjadi sejadi-jadinya kumakan bangsat pun karena ku dimakan bangsat feodal.

 

Jadi alih-alih kembang melati. Menata diri dengan duri pelindung bangsat. Bangsat, bangsat yang ada dalam akronim-akronim yang dicetak bangsat untuk bangsat. Karena bangsaat bias membeli bangsat untuk dibangsatkan. Oleh karena itu, jika bangsat yang bangsat itu, tampak seperti bangsaat yang ada di bawah guling atau tempat duduk Anda maka itulah bangsat yang selama ini menghisap darah Anda dan saya karena bangsat-bangsat itu sudah demikian sebab kursi Anda atau saya sudah diduduki oleh bangsat yang memang bangsat. Dus, bangsat tak kecuali yang biasa Anda lihat adalah bagian kecil dari para bangsat yang menggerogoti animo suara dalam nurani jika nurani itu masih dimiliki oleh para individu, kalau masih Anda miliki nurani itu. Nah, dus, bangsat tak bernurani seringkali dipilih oleh para bangsat yang menduduki kursi-kursi yang selama ini dibuat oleh Anda dan untuk Anda.

 

Oleh sebab karena itu. Tanpa kecuali. Para bangsat dapat mengakses saya atau lewat bangsat lain dengan perangkat sistem computer yang mengglobal info ineraktif. Jadi, lho? Bangsat itu ada. Dekat sekali dengan Anda. Lho! Itu!.

 

Wah! lihatlah. Lihat. Si bangsat yang sejak Anda lahir memang sudah eksis. Bahkan dialah penghisap darah murni dan tak konsekuen, karena memang bangsat. Di kepalanya hanya ada darah darah darah darah darah darah, beringas dan kejam. Darah! Darah! Darah! Tumpahkan darah. Darah. Darah. Darah. Revolusi dan kudeta adalah takdirnya, karena bangsat kan memang suka darah, kan!? Lho? Iya, kan? Lho. Kok pada melongo. Bingung. Saya juga bingung. Kenapa bangsat harus ada, ya sudah demikian. Memang bangsat harus ada dimana pun kapan pun dia si bangsat itu selalu ada.

 

SCENE #2

(Seorang berwajah Arjuna, terkurung dalam image-image)

 

Ada. Ada. Yes. Yes! Yes! Yes! Bangsat emmang tetap bangsat. Jadi tak perlu risaukan si bangsat itu. Jika Anda risau dia senang. Senang sekali dia. Tentu saja dia senang. Kenapa? Karena bangsat selalu berbangsat dan selalu menyebarkan hal hal hal hal hal hal, hal, hal kebangsatan. Jadi bangsat alias kepinding, alias si penghisap darah di pantat atau apa pun di mana pun bagian-bagian tubuh Anda bias digigit dan dihisap darahnya oleh bangsat kemudian dia menyebarkan bau badannya yang aduhai, itulah bangsat yang amat bangsat sekali. Bahkan anuku, anu kita, anu siapa saja kalau dia menghendaki akan terus dihisap si bangsat itu. Anda paham yang saya maksud dengan anu, ya anu, anu, a-n-u, paham? Paham? Pahami saja. Bangsat tak peduli Anda paham atau tidak, dia akan terus menggigit dan menghisap anu sampai hahhh, hahhhh, paham maksud saya? Haaahhhhh. Paham. Wah. Duh duh duh sekali kalau Anda tak paham juga.

 

Oke! Andaikan Anda paham. Apakah Anda akan menghindar. Tak mungkin, tak mungkin, karena si bangsat sangat menikmati setiap gigitan dan hisapannya, dan Anda hanya menggaruk-garuk bagian yang digigit atau dihisap tanpa beban.  Siapa yang bodoh? Entah. Yang jelas saya pun sering menggaruk-garuk bagian yang terasa gatal tanpa saya tahu kapan si bangsat itu menggigit dan menghisap darah saya. Darah! Darah? Darah! Bayangkan! Darah? Darah saya atau Anda dihisap begitu saja oleh bangsat itu, tapi kok, tapi kok, kita diam saja. Bahkan terkesan kita menikmatinya. Iya, kan? Pasti iya.

 

Lha wong buktinya kita sekalian turut memelihara para bangsat itu dan tumbuh subur, berkembang biak di bawah pantat kita, jangan salah lho. Meski para bangsat itu hidup di bawah pantat kita, tapi dia eksis terus di segala cuaca. Lho! Ini nyata, nyata, nyata. Kalau tak nyata, pasti kita tak terasa gatal-gatal. Semua pasti sudah lupa bahwa bangsat itu tak punya pesaing, kala pun ada pasti sesama bangsat.

https://i0.wp.com/i416.photobucket.com/albums/pp246/marciolimas/Download.gif

monolog

AKSIOMA

Karya Taufan S. Chandranegara

 

https://sastradrama.files.wordpress.com/2010/10/ashes.jpg?w=300

 

Dramawan      1. Aktor (Lelaki/Perempuan)

 

Pendukung      1. Kameraman dan Perangkatnya

2. Sutradara

 

Catatan Visual : Dalam naskah ini, diperlukan perangkat multimedia. Naskah ini dibuat dalam bentuk  stage film/life video on stage. Diperlukan imajinasi tanpa batas, kontekstual dalam term of moralism.

 

Tahun              : Maret 2004

 

 

 

SCENE 01:

(Track In- Shot Number:01)

 

Sebuah bibir. Senyum. Beragam rupa dalam hati Sang. Entah siapa dia. Entah. Persoalannya bukan tersirat atau tersurat. Saudara paham maksud saya? Tidak?! Pasti tidak. Anda pasti menduga tentang sebuah hati yang terluka atau cemburu, membara, pedih, gembira, suka, duka, nestapa, lara, ceria, nostalgia, birthday, valentine, atau berhubungan dengan hal-hal yang bersifat positif-negatif. Hahaha…. Sangat konservatif, kalau hanya itu. Kuno, bodoh, tidak cerdas. Atau, saudara menduga hubungan: Bibir dan hati. Umumnya terkait dengan inner-mind Anda, orang, massa. Tidak!? Atau, saudara menduga: sebuah bibir, senyum. Berhubungan dengan tren iklan, hahahaha… hamper, mirip, tapi bukan itu, saudara. Lalu apa? Saya juga ingin tahu. Kenapa? Karena saya juga sedang menduga. Diagnosis apa yang kira-kira tepat untuk itu.

Kalimat diagnosis tidak Cuma digunakan dalam kalangan medis saja, kan? Khususnya disiplin kedokteran. Kalau dokter sekolah bertahun-tahun, kemudian hanya pandai mendiagnosis. Karena itulah maksimalisasi dari keilmuannya. Tetapi, tetapi, tetapi, jika kita kembali hubungkan dengan: Sebuah bibir, senyum. Perlukah kita memakai alibi”diagnosis”?

Apa jawab Anda yang duduk di belakang sudut sana. Saudara, siapa pun Anda, punyakah jawabannya? Akh, betul sekali. Apapun jawaban pada hari ini harus dikategorikan jawaban tentang “Benar”. Kenapa? Karena kita harus kembali kepada “Diagnosis”. Kenapa begitu? karena diagnosis kita hidup. Karena diagnosis hiduplah: Trust, Image, Brand, Product, Knowledge, Awareness. Kemudian puncak dari itu semua menjadi the people tobe awareness. Kemudian bangkitlah the people to be community and they get the goal. Gol, Saudara, saudara, gol. Saya. Anda. Kita. Kami. Hidup dalam komunitas massa yang ujung-ujungnya get the goal. Yes. Gol. Gol. Gol saudara bukan gol saya. Gol saya bukan gol Anda. Gol kita akibat individu dalam komunitas dan gol kami akibat bentukan komunitas dari individu-individu.

https://i0.wp.com/i416.photobucket.com/albums/pp246/marciolimas/Download.gif

Monolog

HATI YANG MERACAU

Karya: Edgar Allan Poe

https://i0.wp.com/media.onsugar.com/files/ons1/192/1922283/32_2009/edd34eaa2098b0ba_EDGAR-ALLAN-POE.jpgMemang benar! Aku gelisah, sangat-sangat gelisah pada waktu itu, dan sekarang pun masih; namum mengapa kalian menyebutku gila? Rasa sakit menajamkan inderaku, bukan melemahkannya, apalagi membuatnya tumpul. Dan dibanding yang lainnya, indera pendengarankulah yang paling tajam. Aku mendengar semua hal di langit dan di bumi. Aku mendengar suara di neraka. Bagaimana bisa aku disebut gila? Dengarlah! Kalian akan tahu betapa warasnya, betapa tenangnya, aku menceritakan kepadamu seluruh kejadiannya.

Sulit menceritakan bagaimana mula-mula gagasan itu menyusup di benakku, tapi begitu masuk, ia memburuku siang malam. Tak ada niat dan dendamku. Aku mencintai orang tua itu. Ia tak pernah berbuat salah kepadaku. Juga tak pernah melukai hatiku. Emasnya pun tak kuinginkan. Kupikir yang menjadi persoalan adalah matanya. Ya, matanya! Salah satu bola matanya menyerupai mata burung pemangsa – mata yang biru dan berselaput. Setiap kali ia menatapku, darahku terasa beku. Dan sedikit demi sedikit – secara berangsur-angsur – aku membulatkan hatiku untuk membunuhnya sehingga terbebas selamanya dari sergapan mata burung pemangsa itu.

Di sinilah pangkal soalnya. Kau menganggapku gila. Semua orang gila pasti tidak tahu apa-apa. Namun kau akan melihat bagaimana aku akan melakukannya. Kau akan melihat betapa cerdiknya aku menyelesaikan pekerjaanku; begitu rapi, terencana, dan kemudian berpura-pura tidak tahu apa-apa. Aku menjadi lebih manis kepada oang tua itu pada seminggu terakhir sebelum aku membunuhnya. Setiap malam, menjelang tengah malam, aku memutar gagang pintu kamarnya dan membukanya – ehm, begitu hati-hati. Dan kemudian ketika pintu kamar itu terkuak dan cukup bagiku untuk memasukkan kepala, kumasukkan lentera berkatup yang kurapatkan semua lempengan katupnya sehingga tidak ada sinar yang menerobos keluar dair lenera tersebut, lalu kusorongkan kepalaku ke dalam. Oh, kau pasti terejut meliha betapa cerdiknya aku menyusupkan kepala. Semua kulakukan dengan pelan, sangat-sangat pelan, sehingga tidak mengganggu tidur rang tua itu. Kuperlukan satu jam untuk menempata posisi kepala sebaik-baiknya di celah pintu sehingga aku bisa leluasa melihat orang tua itu berbaring di ranjangnya. Nah, bisakah orang gila melakukan pekerjaan secerdik ini? Dan ketika kpalaku seudah leluasa, aku membuka katup penutup lentera dengan hati-hati – begitu hati-hati – jangan sampai engsel katupnya berderit. Aku membuka seperlunya saja, cukup agar seberkas tipis cahaya bisa menerangi mata burung pemangsa itu. Dan pekerjaan seperti ini kulakukan selama tujuh mala berturut-turut, tiap datang tengah malam, namun selalu kujumpai mata itu tertutup. Dalam keadaa seperti itu tentu mustahil melanjutkan rencanaku sebab bukan orang tua itu yang membangkitkan marahku, tetapi mata seta itu! Pagi harinya, di saat fajar, sengaja kudatangi amarnya, ku ajak ia bercakap-cakap kusapa namanya dengan penuh semangat, dan kutanyakan apakah tidurnya enak semalam. Dengan demikian, kau tahu, diperlukan kecerdasa tertentu pada si tua itu untuk menduga bahwa setiap malam, tepat pukul dua belas, aku selalu mengamatinya ketika ia tidur.

https://i0.wp.com/i416.photobucket.com/albums/pp246/marciolimas/Download.gif